Kisah
ini ada atau saya baca sekitar tahun 2010 lalu sobat, tapi saya akan
beritakan kembali kepada sobat-sobat agar kita semakin banyak mengetahui
kisah-kisah yang bermanfaat dan menginspirasi.
Sebelumnya
orang tua si anak ini memeberikan semua buku agama yang ada di dunia
dan mempersilahkan pada anaknya untuk memutuskan agama mana yang akan di
pilihnya.
Perkataan
rasulullah adalah suatu bukti yang membenarkan bahwa yang menjadikan
agama manapun tergantung dari orang tuanya. Ternyata anak ini memilih
islam tanpa ada yang mengajarkan, hanya dari semua buku agama yang di
pelajarinya dan terpilihlah islam sebagai pilihannya.
Rasulullah saw bersabda: ”Setiap
bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Alexander
Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak
awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh
dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan
menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh
agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan
mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia
tak pernah bertemu muslim seorangpun.
Dia
sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari
sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam,
mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan
belajar adzan.
Semua
itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan
tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad
’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang
dia cintai sejak masih kecil.
Salah
seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut.
Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut
bertanya kepada wartawan itu, ”Apakah engkau seorang yang hafal Al Quran ?”
Wartawan itu berkata: ”Tidak”. Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.
Bocah
itu kembali berkata , ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan
mengerti bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujani wartawan itu
dengan banyak pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ?
Apakah engkau telah menunaikan ’umrah ? Bagaimana engkau bisa
mendapatkan pakaian ihram ? Apakah pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah
mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di
Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan
keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami ?”
Setelah
wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan
menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau
gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih
yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya
dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan
adzan sebelum dia sholat. Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan,
”Terkadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidaktahuanku
tentang waktu-waktu sholat.”
Kemudian
wartawan itu bertanya pada sang bocah, ”Apa yang membuatmu tertarik
pada Islam ? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?” Dia
diam sesaat kemudian menjawab.
Bocah
itu diam sesaat dan kemudian menjawab, ”Aku tidak tahu, segala yang
aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku
menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.
Wartawab bertanya kembali, ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan ?”
Muhammad
tersenyum sambil menjawab, ”Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu
secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku
berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”.
Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan
mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal
tersebut”.
”Apakah cita-citamu ?” tanya wartawan
Dengan cepat Muhammad menjawab, ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.
”Sungguh
aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah
sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut ?” tanya wartawan lagi.
Ibu
Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata :
”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia
menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam
khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi
mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius,
melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang
tidak bisa dirasakan oleh orang lain”.
Tampaklah
senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya.
Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di
sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan
antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa
memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian
Muhammad meneruskan, ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari
uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah
Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke
sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300
dollar.”
Ibunya
menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan
keteledorannya, ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya
pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk
mengirimnya dalam waktu dekat ini.”
”Apakah cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan.
“Aku
bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini
adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari
mereka.” jawab Muhammad
Ibunya
melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan
isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan
ibunya sekitar tema ini.
Muhammad
berkata, ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh
benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”
”Apakah engkau mempunyai cita-cita lain ?” tanya wartawan lagi.
Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al Quran.”
“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?” tanya wartawan
Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”
”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari daging babi ?”
Muhammad
menjawab, ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku
sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku
mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka
tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka
aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”
”Apakah engkau sholat di sekolahan ?”
”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari” jawab Muhammad
Kemudian
datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung
berkata kepada wartawan,”Apakah engkau mengijinkanku untuk
mengumandangkan adzan ?”
Kemudian
dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata
mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan
bocah itu menyuarakan adzan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar